Jumat, 19 September 2014

CATATAN TENTANG UGAMO MALIM-Sumber: http://www.parmalim.com



DEWAN PENGURUS PUSAT
 
PUNGUAN PARMALIM
HIMPUNAN PARMALIM
PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TYME
 
 
Kantor Pusat : Hutatinggi - Desa Pardomuan Nauli Kec. Laguboti Kabupaten Toba Samosir 22381

PELEMBAGAAN SOSIAL 
Raja Nasiakbagi mengajarkan untuk mendirikan Ugasan Torop. Setiap tahun masing-masing warga mengumpulkan sejumlah tertentu padi atau uang dalam lumbung (kas). Tujuannya menyantuni kehidupan warga yang tidak mampu. Yatim piatu dan warga miskin dijamin oleh harta bersama ini. Yang kurang mampu didak diwajibkan memberikan hingga kehidupannya semakin baik, namun mempunyai hak yang sama.
 
Parmalim tidak mengenal konsep panti karena dalam budaya batak adat do palumehon pinahan, alai tihas do palumehon jolma. Memeliharakan ternak adalah biasa dengan konsep bagi hasil, namun memeliharakan (karena cacat, miskin dan jompo) manusia adalah pantangan besar.
Bentuk apa pun manusia yang dianugerahkan kepada keluarga adalah menjadi tanggungjawabnya dan komunitasnya. Konsep itu tetap hidup dalam Parmalim sehingga warga Parmalim dalam keadaan apa pun tidak dianjurkan masuk panti asuhan dan tidak berusaha membentuk panti. Kehidupannya dijamin dengan adanya Ugasan Torop.
Pengurusnya tidak mendapat insentif dari perkembangan harta ini karena berprinsip mengabdikan diri terhadap pesan Raja Sisingamangaraja - Raja Nasiakbagi.
Para Pengelola Ugasan Torop ini disebut juga Suhi Ni Ampang Naopat. Mereka ada di setiap cabang dan mengelola secara mandiri. Di Pusat disebut juga Suhi Ni Ampang Naopat, tugasnya mengevaluasi perkembangan Ugasan Torop dan melakukan kebijakan croos subsidi. Bila di salah satu cabang ada masalah yang harus disantuni Ugasan Torop dan harta mereka tidak mencukupi, kas dari cabang lainnya dapat digunakan untuk mengatasi masalah itu.
 
Ugasan Torop banyak digunakan sebagai modal awal keluarga baru yang memulai kehidupan baru sehingga semakin berkembang. Pengelolaannya pun semakin berkembang, yang semula orientasi sosial semata, namun karena memberi kehidupan yang lebih baik oleh yang menggunakannya sehingga lajim memberikan “ginurgur” bagian dari laba usahanya yang tidak dipatok.
 
Ugasan Torop juga diaturkan untuk mendapatkan “todoan” dari penjualan ternak, upa raja (bila raja mendapatkan upah dari pelaksanaan tugasnya) dari ragi-ragi ni sinamot (dari penerimaan harta pauseang dan panjaean pada saat dilakukan perkawinan. Saat ini dalam pengertian yang berbeda disebut sinamot). Intinya adalah bila warga Parmalim mendapatkan rejeki halal, sepantasnya memerikan “todoan” ke Ugasan Torop agar semakin berkembang.
 
Target dalam pengertian yang lebih luas, Ugasan Torop diharapkan mampu menyantuni warga (seluruhnya) bila mengalami kegagalan panen, atau usaha sehingga terancam kehidupan dasar sehari-hari selama satu tahun berjalan.
Ugasan Torop telah pernah membantu korban gempa di Tarutung melalui satkorlak, dan menampung pengungsi korban gempa itu di kompleks Bale Pasogit. Juga memberi bantuan kepada korban kebakaran di Porsea. 
http://www.parmalim.com/admin3011/photodir/photo20080120082449.jpg
Sekolah Parmalim
PSHT (Parmalim School Hoeta Tinggi), Didirikan pada 1 Nop 1939
http://www.parmalim.com/admin3011/photodir/photo20071207093005.jpg

Bale Pasogit Partonggoan
Bale Pasogit Partonggoan, Tempat Peribadatan Pamalim
PELEMBAGAAN UGAMO MALIM 
Ugamo diartikan suatu kumpulan orang yang melakukan aksi membentuk hubungan dengan Penciptanya. Raja Mulia yang menerima amanah sedikit ragu atas kemampuannya, hingga beliau ditemui oleh seorang sosok yang kumal. Beliau menagih janji untuk melembagakan hamalimon yang disebut UGAMO MALIM. Ketika Raja Mulia hendak mengucapkan kata pernyataannya siapa diri yang menemuinya, beliau spontan menghentikan dan mengenalkan diri “Nasiakbagi” tidak memiliki harajaon, dan harta benda serta kampung halaman.  
Raja Mulia bersedih, karena harus memperkenalkannya “sahabatnya” (didepan umum disebut sahabat, namun dalam pengakuannya adalah sebagai guru, raja dan MALIM) seperti, marga Simatupang, teman pedagang, teman main judi dan lain sebagainya. Para pengikutnya menyebut Nasiakbagi lebih terhormat menjadi “Raja Nasiakbagi”. Apa yang diamanatkan Sisingamangaraja XII sebelumnya itu juga dituntut pelaksanaannya. 
Munculnya Raja Nasiakbagi semakin menguatkan keyakinan Raja Mulia Naipospos akan pesan yang telah diamanatkan Raja Sisingamangaraja sebelumnya. Raja Nasiakbagi menyerahkan konsep pengorganisasian dan ajaran Ugamo Malim sesuai dengan apa yang diterimanya dari Raja Sisingamangaraja. Raja Nasiakbagi selalu menolak apabila dirinya dianggap sosok Raja Sisingamangaraja XII ataupun penjelmaannya. Beliau selalu mengatakan bahwa Sisingamangaraja sudah berada disisi Mulajadi Nabolon.  
Gayus Hutatahean dengan semangatnya menyebarkan informasi bahwa Raja Sisingamangaraja XII hidup dan jalan bareng dengan Raja Mulia Naipospos menyebabkan dia ditangkap pemerintah Belanda dan dibuang. Sejak itu tidak ada yang berani membicarakan Raja Sisingamangaraja.
Penjajah dan kroninya mencurigai langkah Raja Mulia dan sosok “Nasiakbagi” dan melakukan fitnah dan pengejaran. Raja Mulia dipenjara beberapa kali karena tidak menyebut siapa sebenarnya yang menyebut dirinya Nasiakbagi itu. Setelah melihat pola pengajaran dan pengorganisasian yang dilakukan Raja Mulia sudah mapan, akhirnya “Raja Nasiakbagi” meninggalkannya.
Tantangan dan kekerasan banyak dihadapi selama mengembangkan Ugamo Malim. Berbagai tudingan dan sebutan dilontarkan tidak dijawab. Ada yang menyebut mereka sama dengan kelompok Parhudamdam, ada yang menyebut Parsitengka ada yang menyebut Agama Sempalan dari berbagai Agama, ada yang menyebut Animisme, ada yang menyebut Sipelebegu atau Pelbegu. Sebagian lagi menyebut mereka Parugamo, dan ada yang menyebut Parsiakbagi. Semua sebutan itu tidak dibantah, karena mereka yang berkuasa saat itu lebih dominan diterima publik. Ada kepentingan mereka untuk memberikan stigma buruk kepada kelompok ini agar tidak ada yang mengikuti atau bila mungkin ditinggalkan para pengikutnya.Karena mereka adalah par-Ugamo Malim maka lebih lajim disebut menjadi Parmalim.
Mereka sering dipaksa memberikan sumbangan pembangunan gereja. Pernah mezbah persembahan Parmalim di Hatinggian dirampas dan dirobohkan atas perintah Raja Ihutan yang diangkat Penjajah. Pemerintah kolonial akhirnya memberi izin kepada Kelompok Parmalim yang dipimpin Raja Mulia Naipospos untuk mendirikan BALE PASOGIT tempat peribadatan di Hutatinggi yang dikeluarkan controleur van Toba tahun 1921.

STRATEGI PENGEMBANGAN 
Raja Sisingamangaraja dan raja Nasiakbagi menanamkan motto bagi para pengikutnya untuk menerima perkembangan tanpa mengorbankan nilai spiritual Batak. Motto ini dikenal dengan : Parbinotoan Naimbaru, Ngolu Naimbaru, Tondi na marsihohot. 
Parbinotoan Naimbaru
Menerima perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Ngolu Naimbaru
Menerima perkembangan jaman untuk meningkatkan kesejahteraan dan peradaban, tanpa melanggar etika sosial sesuai tuntunan ajaran Ugamo Malim.
Tondi na Marsihohot 
Tetap bertaqwa kepada Tuhan Debata Mulajadi Nabolon melalui ajaran Sisingamangaraja - Raja Nasiakbagi tanpa dipengaruhi ajaran keyakinan agama lain.
Parmalim menyongsong masa depan, tak pernah surut melakukan pedoman dan ajaran yang dianut walau mengalami banyak hambatan external dan internal. Para tokoh Parmalim menolak mengikuti pendidikan mission kepada anak-anaknya karena harus dibaptis kristen. Raja Mulia harus menjalankan amanah, pendidikan harus dilakukan. Anak tunggalnya Raja Ungkap disekolahkan ke sekolah independent yang dikelola pendidikan Inggeris di Tambunan yang berbasis di Singapura. Tidak diwajibkan menganut agama tertentu. 
Semula Raja Ungkap dianggap para tokoh Parmalim akan menjadi lawan setelah menerima pendidikan modern dan pergaulan dengan orang asing. Raja Mulia sebelumnya banyak menerima hujatan dari para rekan seperjuangannya karena masalah pendidikan itu.Raja Ungkap membuktikan sebaliknya. Walau tidak terlalu mulus, beliau mendirikan Sekolah Parmalim (Parmalim School) tanggal 1 November 1932. Sejak itu banyak anak Parmalim mendapatkan pendidikan. 
Penganut Agama Batak tempo dulu banyak ditarik menjadi Kristen melalui pendidikan yang dikelola mereka. Pada umumnya para Parbaringin tidak setuju dengan pengorganisasian Ugamo Malim (Parmalim) akhirnya terlindas dengan jaman. Dengan dibukanya sekolah Parmalim generasi baru dibangun. Inilah sejarah awal dimulainya Parmalim baru yang lebih cerdas. Pendidikan misi Kristen tidak memberi pengaruh pencerdasan generasi Parmalim yang ada saat itu dan sekarang. 
Raja Mulia Naipospos menyerahkan tahta kepemimpinnan kepada putra tunggalnya Raja Ungkap Naipospos pada tahun 1956. Raja Ungkap sebelumnya sudah mengalami pahit getir penggemblengan diri dari Raja Mulia ayahandanya sendiri. Raja Ungkap adalah generasi kedua dan pertama sekali menerima pendidikan sekolah. Beliau menguasai Bahasa Inggeris, Belanda dan Jepang.  
Dengan berpedoman kepada prinsip parbinotoan naimbaru (ilmu pengetahuan baru), ngolu naimbaru (hidup lebih sejahtera) tondi na marsihohot (kepercayaan yang teguh), beliau melanjutkan apa yang telah dibentuk dan dirintis Raja Mulia.  
Beliau juga memimpin misi penguatan ajaran Ugamo Malim bagi para pemeluknya yang berpusat di Sait Ni Huta, Uluan. Gerakan itu juga meningkat hingga mencari peluang kehidupan yang lebih baik dengan gerakan manombang. Mereka mencari peluang kehidupan baru di daerah Sumatera Timur – Simalungun tepatnya daerah Bah Jambi. Disana berdiri sebuah perkampungan khusus untuk Parmalim dan disebut Kampung Malim. Sejak itu, Parmalim menyebar dari Toba ke daerah subur Sumatera bagian Timur.Langkah itu, telah memperkuat kesatuan (kelembagaan), kemandirian, kedamaian, dan kekuatan iman Parmalim. 
Pendidikan dan pemanfaatan peluang kehidupan, kewirausahaan bukan ajaran baru bagi Parmalim yang sampai saat ini sudah banyak menghasilkan SDM dan berperan di berbagai kegiatan, pemerintahan maupun swasta. 
Masyarakat umum tidak dapat lagi mengenal Parmalim dalam pandangan yang kaku seperti sosok dukun, berjambang, makan sirih, pakai tongkat, ikat kepala, pakai ulos, bau kemenyan, ahli nujum dan lusuh. Image itu sejak lama dipraktekkan kelompok tertentu dan menganggap Parmalim merupakan obyek yang perlu diselamatkan dan digiring kehadapan Tuhan menurut cara mereka. Sampai saat ini pemahaman ini masih ada, dan sejak masa pembentukan wujud Parmalim yang lebih maju dan mandiri itu, sebaliknya  masih banyak orang menganggap Parmalim sudah punah. 
Pernah sekelompok mahasiswa Sekolah tinggi Agama dari Tarutung berkunjung ke Pusat Parmalim di Hutatinggi. Mereka berpikir akan berhadapan dengan sosok manusia berjambang, makan sirih, pakaian serba hitam, bau kemenyan dan asesori rumah tinggal dipenuhi patung-patung berhala dan tunggal panaluan. Katanya itu dari refrensi mata kuliah mereka. 
MAKNA PAMELEON BOLON
Sunday, 22 June 2008
Mengucap syukur Kepada MULAJADI NABOLON atas anugrah sepenjang tahun yang diberikan.

Setahun sudah bekerja, bulan “sipahatolu” sudah tiba, hasil sudah didepan mata, padi menguning memberikan harapan baru. Syukur kepada Pencipta, Dia yang memberi, Dia alamat sembah, kepadaNya hasil ini lebih dulu dipersembahkan.
Bulir padi matang, bernas dipilih, dipetik dengan tangan. Sebagian disimpan untuk bekal benih untuk musim tanam mendatang, sebagian diolah menjadi “itak gurgur”. Inilah “matumona” memetik perdana hasil panen untuk persembahan kepada Pencipta dan persiapan benih.
Memasuki bulan “sipahaopat” semua penduduk sudah selesai memetik hasil panen. Persembahan akbar disiapkan. Raja menetapkan hari bulan mendatang, bulan purnama, samisara purasa, bulan “sipahalima”. “Horbo sitingko tanduk siopat pusoran” dipersiapkan. Kerbau pilihan memiliki empat pusar dan tanduk melingkar, gemuk dan tegar. Hasil panen masyarakat dipilih yang terbaik, diolah menjadi “pelean” persembahan kepada Mulajadi Nabolon bersama kerbau pilihan.
Uluan Bolon pilihan para Raja Bius “martonggo” kepada Mulajadi Nabolon menghaturkan sembah, mengucap syukur atas anugrah sepenjang tahun yang diberikan. Manifestasinya melalui sikap tunduk sujudnya semua umat menghantar sajian debata ditata diatas “Langgatan” altar persembahan. Sikap individu ditunjukkan dengan tarian yang diiringi “ogung sada bangunan”, irama musik tradisi menghantar doa persembahan.
Batak diintervensi. Menghaturkan sembah menurut tradisi batak pun dilarang. Membunyikan gendang dianggap haram. Menyembah Mulajadi Nabolon dituding penyembahan berhala. Mereka dipermalukan karena tidak mengenal jalan kebenaran. Sebagian besar dari mereka berangsek meninggalkan tradisi upacara persembahan karena dinilai tidak memiliki pengharapan.
Ada yang menolak, berusaha bertahan. Sikap Hamalimon Batak harus dijalankan. Mereka memiliki pengharapan, karena sudah dijalankan turun temurun bersamaan dengan pelembagaan hukum dan aturan kemasyarakatan. Mereka berkumpul-mengkristal-terdiskriminasi, termasuk dari mereka yang dulunya bersama-sama melakoni.
Inilah kemudian yang dikenal dengan Ugamo Malim, sebutan kepada mereka Parmalim. Bertahan melakukan persembahan kepada Mulajadi Nabolon sesuai tradisi yang sudah dijalankan para leluhur.
Saat ini orang Batak melihatnya seperti sesuatu yang aneh, kadang disebut tradisi Parmalim karena mereka sudah sejak lama meninggalkannya walau itu dulunya tradisi Batak. Mereka sudah menjadi bagian lain dari Batak, sehingga kegiatan yang dilakukan Parmalim dinilai internal dan mereka berada pada bagian luar. Inilah dulunya yang dituding upacara pemujaan berhala. Dan ini pula yang melekat di sanubari orang batak menyebut para leluhurnya “sepele begu” karena tidak seperti “kekinian” mereka. Mereka melihatnya hanya sebagai tontonan, kegiatan budaya yang menghibur, obyek wisata.
Kekakuaan para “penuding” tidak pernah disikapi Parmalim dengan cara bodoh. Selama rohaninya terpenuhi, terus dilakoni walau diiringi caci-maki. Ada pengharapan Parmalim dengan melakukan persembahan kepada Mulajadi Nabolon dan mohon pengampunan atas semua kesalahan yang menjadi dosa selama satu tahun berjalan. Dipanjatkan doa permohonan untuk satu tahun kedepan diberikan rejeki bertambah, kesehatan, perumbuhan, kebijaksanaan dan kekuatan.
MAKNA MANGAN NAPAET
Tuesday, 19 February 2008
Napaet sebagai media pendekatan segala rasa yang ada.
Orang Batak sejak dulu sudah memiliki hitungan hari dan bulan. Hari dihitung setiap bulan sebanyak 29 dan 30 hari. Masing-masing hari beda sebutannya dan berdasarkan itu mereka tau hari keberapa dan bulan ke berapa. Mereka mengamati hari-hari itu dengan melihat tanda-tanda di “parlangitan” siklus bulan dan bintang. 
Hari-hari itu disebut :
1. Artia           
11. Muda ni mangadop
21. Samisara Moraturun
2. Suma
12. Boraspati ni Tangkup
22. Artia ni Angga
3. Anggara
13. Singkora Purasa
23. Suma ni Mate
4. Muda
14. Samisara Purasa
24. Anggara ni Begu
5. Boraspati
15. Tula
25. Muda ni Mate
6. Singkora
16. Suma ni Holom
26. Boraspati Nagok
7. Samisara
17. Anggara ni Holom
27. Singkora Duduk
8. Artia ni Aek
18. Muda ni Holom
28. Samisara Bulan Mate
9. Suma ni Mangadop
19. Boraspati ni Holom
29. Hurung
10.Anggara Sampulu
20. Singkora Moraturun
30. Ringkar
 Bulan dinamai dengan :
1. Sipahasada
5. Sipahalima
9. Sipahasia
2. Sipahadua
6. Sipahaonom
10.Sipahasampulu
3. Sipahatolu
7. Sipahapitu
11.Li
4. Sipahaopat
8. Sipahaualu
12.Hurung
Bulan terakhir setiap tahun dinamai Hurung (kurung) dan hari ke 29 setiap bulan juga disebut Hurung. Setiap hari “hurung” setiap bulannya biasanya dihindari kegiatan yang diharapkan akan berkembang, misalnya menjemput ternak untuk peliharaan, tabur benih, melakukan acara pengesahan perkawinan dan sebagainya. Mereka biasanya melakukan pendekatan terhadap Mulajadi Nabolon dan pensucian diri setiap bulannya pada hari “hurung”. Keesokan harinya, “ringkar” artinya keluar dari keterkungkungan.
Pada bulan yang sama “hurung” dan pada hari yang sama “hurung” setiap akhir tahun mendapat perhatian yang lebih khusus. Umumnya kegiatan secara total dihentikan. Tidak melakukan tanam benih, tidak melakukan transaksi dagang, tidak saling memberi dan menerima sesuatu barang untuk usaha pengembangan. Tidak melakukan “parhataan” pembahasan atas semua aspek kehidupan bersama. Mereka melakukan kegiatan sendiri, menyendiri dalam kegiatan satu keluarga. Mereka membatasi diri dari hubungan duniawi. Hal ini disebut “marsolam diri”, membatasi diri dari hal keduniaan.
Aktifitas ini biasanya dilakoni mereka yang teguh berdiri dalam paham “hamalimon” untuk mengamalkan ketaatannya kepada Mulajadi Nabolon yang mereka percaya “sundung ni hangoluan” ujung dari tujuan kehidupan. Arti kehidupan digambarkan dengan “hariara sundung dilangit” yang diukirkan pada sisi rumah batak, yang mengartikan pohon kehidupan yang tajuknya semakin mengerucut kearah “atas” yang diartikan dimana Mulajadi Nabolon bersinggasana. 
Saat penganut paham hadebataon “hamalimon” terlindas oleh paham yang baru, mereka mengartikannya sebagai pahit getir pejuang, penegak hamalimon batak yang dianugerahkan Mulajadi Nabolon di tanah batak. Para Penegak hamalimon yang disebut “Malim” seperti Raja Uti, Simarimbulubosi, dan Sisingamangaraja cukup mengalami pahit getir kehidupan sehingga mereka disebut “Nasiak Bagi.” 
Setelah penganut paham hamalimon batak yang mengkristal dalam penuntunan Raja Mulia Naipospos, mereka memanfaatkan hari “hurung” pada bulan “hurung” untuk memperingati “kegetiran”, kepahitan hidup yang dialami para “Malim”. Momen ini juga dimanfaatkan untuk mengenang “kegetiran” para pengikut para Malim dan pengalaman sendiri selama tahun berjalan.
Para penganut Hamalimon Batak mengkristal dalam sebutan “Parmalim” sejak tahun 1910 keatas. Parmalim melambangkan peringatan “kepahitan” yang dialami para Malim dengan “Napaet”. Napaet merupakan gabungan dari tumbuhan yang mengandung pahit, asam, pedas, kelat dan asin.
Napaet juga melambangkan penderitaan para pengikut malim itu, yaitu yang menyebut dirinya saat ini Parmalim. Napaet memiliki pemaknaan yang lebih luas lagi. Napaet yang dialami para Malim adalah karena upaya mereka menegakkan hukum kebenaran bagi bangso Batak. Sementara napaet yang dialami oleh pengikutnya dibagi dalam dua bagian pengertian. Pertama , karena kesetiaannya mengikuti ajaran Malim sehingga sering mengalami penindasan oleh orang-orang disekitarnya, terfitnah dan dituding “sesat”. Kedua, adalah akibat dari kesalahannya sendiri terhadap hukum yang telah ditegakkan para Malim, yang melakukan tindakan yang dapat merusak keutuhan Hamalimon dan berdampak kepada kerusakan tatanan kemanusiaan. Ini disebut “dosa”. 
Perbuatan dosa itu yang disadari terakumulasi selama satu tahun berjalan, direnungi dan dimohon pengampunan dalam bulan hurung hari hurung. Napaet sebagai media pendekatan segala rasa yang ada pada indera manusia, dengan tidak mengkonsumsi makanan keseharian selama 24 jam akan mengantarkannya ke ruang yang lebih “rohani” dan khusuk mohon pengampunan. Inilah puncak pengajaran “marsolam diri”, membatasi diri dari tuntutan duniawi. 
Keesokan harinya “ringkar” (rungkar) keluar dari perenungan penyesalan menjadi penerimaan anugerah pengampunan. Pada hari ini, Parmalim “mangan natonggi”. Tidak serta merta dilambangkan oleh makanan yang manis-manis, tapi menikmati apa yang menjadi konsumsi keseharian. Makan bersama sesama komunitas dan mengekspresikan kebahagiaan. 
Ringkar adalah hari terakhir setiap tahun yang diperingati sebagai hari kebebasan setelah melakukan perenungan dan pengampunan yang dalam. Keesokan harinya adalah Artia bulan Sipahasada. Hari pertama tahun yang baru. Tidak ada kelajiman merayakan tahun baru bagi masyarakat Batak tempo dulu. Mereka hanya mengenang kelahiran Simarimbulubosi, “manusia dewa” penegak hukum yang diakui seantero tanah batak. Beliau penegak hak azasi manusia dan penghargaan derajat perempuan. Beliau mengaturkan pembuatan hukum adat dan menegakkan langsung di masyarakat. Beliau didewakan orang-orang yang merasa terbebas dari penindasan dan orang hina yang terangkat derajatnya. Beliau menyiratkan patik “unang, tongka dang jadi”.
Simarimbulubosi memiliki kekuatan dan anugerah “keilahian” dari Mulajadi Nabolon dan disebut Tuhan yang diutus. Beliau lahir pada hari Suma dan “diharoani” di Anggara bulan Sipahasada. 
Raja Manghuntal Singamangaraja I juga lahir pada hari Suma. Sehingga pada hari Suma dan Anggara, Parmalim memperingati kelahiran para Malim yang diberkati Mulajadi Nabolon itu. Berkaitan dengan kegiatan ritual pembersihan diri dan rohani yang sudah dilakukan pada hari hurung akhir tahun, dan kebebasan “rungkar” pada hari “ringkar”. Dimulailah tahun yang baru dengan menyambut roh (tondi nabadia) yang diutus Mulajadi Nabolon yang disebut “tondi parorot, tondi pangajari, tondi panghophop” melalui para Malim, Raja Uti, Simarimbulubosi, Sisingamangaraja dan Raja Nasiakbagi.  
Hari Artia bulan Sipahasada dianggap sebagai “Robu”. Robu adalah hari sela diantara dua kegiatan yang berbeda. Robu dapat juga diartikan hari tenggang setelah melakukan kegiatan tertentu. Jadi jelas, saat ini Parmalim melakukan kegiatan pada Sipahasada bukan merayakan tahun baru, tapi merayakan kelahiran para Malim dan menyambut pembaharuan setelah di akhir tahun melakukan ritual pengampunan dosa.  
Hari Raya Batak akan kami jelaskan pada tulisan berikutnya PAMELEON BOLON.    
Warisan Penting Menteri Agama
Thursday, 17 July 2014

Peran Penting Pemerintah dalam membina kerukunan umat Beragama

KEHADIRAN negara dalam melindungi segenap anak bangsa, khususnya perlindungan bagi kaum minoritas, kerap dipersoalkan. Perbedaan keyakinan, misalnya, yang mestinya dirayakan sebagai bagian dari kekayaan peradaban bangsa, justru disikapi sebagai duri yang harus dilenyapkan. Tidak mengherankan bila dalam kurun hampir satu dekade terakhir, pesimisme ihwal nasib kebinekaan di Republik ini memuncak. Orang serbatakut berbeda keyakinan karena negara tidak menjamin keamanan mereka dalam menjalankan keyakinan itu. Namun, selalu saja ada oasis dari segelintir orang yang yakin bahwa keberagaman tak sepenuhnya mati. Mereka itulah, entah dari kalangan pegiat kemanusiaan, agamawan, maupun elite di pemerintahan, yang tak mau takluk begitu saja oleh kehendak penyeragaman. Nuansa itulah yang tampak dari pertemuan para penganut keyakinan minoritas di Indonesia dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat dengan jajaran Kementerian Agama di kediaman Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Selasa (15/7). Ada tokoh dari Parmalim, Ahlul Bait Indonesia, Majelis Bahai Indonesia, Sunda Wiwitan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Kelompok agama minoritas hadir sebagai bagian dari anak bangsa yang kerap tak didengar. Karena itu, ketika Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menginisiasi pertemuan dengan maksud mendengar apa yang mestinya didengar pemerintah, apresiasi yang sangat tinggi patut kita sampaikan. Dengan menggelar pertemuan tersebut Lukman Hakim sedang membuktikan bahwa negara tidak sepenuhnya absen dalam merawat kebinekaan. http://video.metrotvnews.com/play/2014/07/17/266689/warisan-penting-menteri-agama
HAMALIMON BATAK 
Hubungan dengan Mulajadi Nabolon disebut “Ugamo” inti ajaran dalam menjalankan hubungan itu disebut “Hamalimon”.
Pengertian “Malim” ada dua bagian: “Malim” sebagai sifat dasar yang dituju, berawal dari “Haiason” dan “Parsolamon”. Yang kedua adalah “Malim” sebagai sosok pribadi.
Haiasaon diartikan kebersihan. Kebersihan fisik dan rohani. Parsolamon diartikan membatasi diri dari menikmati dan bertindak.
Ada beberapa pribadi leluhur di tanah batak yang dianggap sebagai Malim, yakni Raja Uti, Simarimbulubosi dan Sisingamangaraja.
Mereka menganjurkan panyampaian persembahan kepada Mulajadi Nabolon yang disebut Pelean Debata “na ias jala malim” bersih dan suci. Pelaksanaannya diawali dari pribadi (keluarga) seperti penyampaian “patumona ni naniula” kegiatan se kampung yang merupakan klan dalam satu parsantian.
Biasanya kumpulan satu rumpun keluarga semarga termasuk boru dan paisolat (pendatang).
Persembahan suci sebagai ucapan syukur  kepada Mulajadi Nabolon dilakukan pada Upacara Bius dengan persembahan kerbau yang disebut Horbo Santi atau Horbo Bius.
Horbo Santi, seekor kerbau (sitingko tanduk siopat pusoran) pilihan bertanduk bulat dan empat pusar. Kerbau ini dipelihara berbulan-bulan sebelum dipersembahkan. Kerbau ini bila masuk kehalaman orang, dianggap anugerah, bila masuk ke kebun tidak didenda.

HARAJAON BATAK 
Raja Uti dikenal menerima amanah mengajarkan Hamalimon dan pola penyembahan terhadap Mulajadi Nabolon. Beliau juga menerima amanat “Harajaon” pertama sekali di tanah Batak walaupun tidak dilakukan secara terlembaga. Raja Uti dianugerahi Mulajadi Nabolon “Mula ni Harajaon na marsuhi ni ampang naopat”.
Suhi ni ampang naopat menjadi dasar konsep kelembagaan masyarakat, harajaon dan paradaton. Harajaon Bius yang kemudian dikembangkan Sisingamangaraja selalu mengacu kepada empat orang Raja utama. Mereka disebut Pargomgom, Pangumei, Partahi dan Namora. Keempat Raja ini dilengkapi perangkat tambahan yang penyebutannya berbeda di masing-masing bius, seperti parmaksi, partingting, nabegu dll. Untuk menghindari adanya kasta diantara mereka sering juga disebut Raja Naualu. Keempat Raja tadi lajim juga disebut Raja Naopat atau Raja Maropat. Raja Bius juga disebut Raja Parbaringin. Konsep ini sudah lama di tanah Batak sebelum mengenal raja Merampat di Aceh, karena kebetulan saja sama. Sering peneliti menyatakan Sisingamangaraja meniru konsep ini  dari Aceh.
Sisingamangaraja menerima wejangan dari Raja Uti untuk pelaksanaan amanah “maningahon” harajaon, patik, uhum, hamalimon. Harajaon “na marsuhi ni ampang naopat” tetap menjadi landasan pelaksanaannya.
Otonomi dinikmati masyarakat. Beliau tidak menjadi raja untuk kekuasaan sentral. Demokrasi Batak dibangun dan dipelihara. Tujuan ketakwaan kepada Mulajadi Nabolon dipenuhi, hormat  kepada pemimpin masyarakat (pantun marraja) dan sayang terhadap sesama manusia.
Bius dibenahi menjadi Dewan Pertimbangan Kebijaksanaan yang dilakukan oleh Huta. Bius diwajibkan memenuhi syarat memiliki “onan” untuk bursa ekonomi rakyat dan berfungsi ganda meliputi pelayanan kesehatan dan pelayanan pertimbangan hukum. Di onan juga disediakan area “partungkoan” para pemimpin “raja-raja” bius, huta dan perangkatnya.
Onan adalah pekan atau pasar. Onan dibentuk sebagai persyaratan ini menjadi bius. Ada hukum di onan yang disebut, osos hau tanggurung tongka masipaurakan. Bila terjadi persenggolan tidak boleh bersengketa. Onan dijaga oleh seorang pendekar partigabolit menjamin keamanan. Di Onan dilakukan mediasi permasalahan hukum oleh para Raja Bius dan juga Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat oleh Sibaso dan Tiang Aras.
Bius juga melakukan “Pardebataon” minimal sekali dalam satu tahun yakni peyampaian persembahan kepada Mulajadi Nabolon atas limpahan rejeki hasil panen yang diberikan.
Agamanya (Ugamo?) ada pada tatanan keteraturan, kedamaian dan ketakwaan kepada Mulajadi Nabolon dengan mempedomani syarat Hamalimon. Sistem ini yang kemudian dikenal dengan Harajaon Malim.

MASA KRISIS  
Sisingamangaraja XI sudah melihat adanya ancaman kemerosotan kepercayaan yang tumbuh sejak lama di tanah Batak. Dampak dari serangan padri sangat terasa dalam perubahan moral dan perekonomian. Tatanam kemasyarakatan, adat, patik, uhum, harajaon, dan hamalimon terancam punah.
Pada era Sisingamangaraja XII pergolakan di Tanah Batak semakin keruh, pembangkangan semakin banyak, keberpihakan kepada penjajah dan misi baru semakin deras. Dulunya para Raja Bius Parbaringin yang sangat mendukung Raja Sisingamangaraja XII menentang penjajahan mulai merosot. Diantara kerabat para raja tradisional itu ada yang diangkat kolonial menjadi raja versi mereka. Para raja angkatan penjajah ini melakukan pendekatan dan penekanan kepada para Raja Parbaringin dan para pejuang pro Sisingamangaraja XII untuk melenturkan peranannya.
Pada suatu ketika, Raja Sisingamangaraja XII membuat maklumat bahwa beliau sakit. Para Raja Bius menjadi pesimis, tidak seorangpun menjenguk beliau. Pada saat itu Raja Mulia Naipospos Raja Parbaringin dari Bius Laguboti berangkat menuju Bakkara. Ternyata Raja Sisingamangaraja XII sehat walafiat. Kepada Raja Mulia dipaparkan ancaman yang akan datang dan semakin lemahnya dukungan perjuangan menentang penjajahan.
Hamalimon dalam Habatahon itu akan pupus bila dibiarkan tanpa pertahanan. Sisingamangaraja XII menyusun strategi lebih tegas dalam bentuk aksi. Raja Mulia memegang teguh peranannya untuk tidak muncul sebagai sosok perlawanan anti kolonial, sehingga lebih didekatkan kepada Missionaris Nommensen di Sigumpar.  Ini merupakan pengkaderan secara terselubung agar tidak segera dipatahkan oleh gerakan misi kristen dan penjajah.
Guru Somalaing Pardede melakukan aksi pengorganisasian hamalimon. Sisingamangaraja XII sebelumnya lebih mempercayainya sebagai penasehat perang.
Ajaran Guru Somalaing makin mengkristal. Sebelumnya Raja Sisingamangaraja XII sudah mengetahui ajarannya ada dipengaruhi kepercayaan Romawi oleh Modigliano dengan penambahan tokoh spiritual Patuan Raja Rum, dan tidak mendapat restu. Gerakan spontan ini mengakibatkan beliau ditangkap dan dibuang.
Setelah Raja Sisingamangaraja XII diumumkan gugur 17 Juni 1907 dalam perjuangan melawan penjajah, tanah batak berduka, ada yang pesimis dan ada yang optimis. Yang pesimis mengikuti jejak penjajah, dan yang optimis tetap melakukan perjuangan mempertahankan hak dan kebebasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar